joesharanger.com Makalah Tentang Perkawinan dan Permasalahannya | Kumpulan Makalah Kuliah
Home » , » Makalah Tentang Perkawinan dan Permasalahannya

Makalah Tentang Perkawinan dan Permasalahannya


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kepada Allah swt. yang telah memberikan pertolongan dan petunjuk-Nya sehingga materi yang berjudul Perkawinan dan Permasalahannya.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada :
1. Bapak Ubaidillah, S. Ag, M.H.I. sebagai dosen pengampu.
2. Teman-teman yang telah mendukung dalam penyusunan materi ini.
3. Semua pihak yang telah membantu penyusunan materi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari bahwa materi ini masih jauh dari sempurna sehingga banyak kekurangan di sana-sini, karena itu kepada pihak-pihak yang membaca materi ini kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun.
Semoga materi ini dapat memberikan tambahan pengetahuan dan bahan untuk mengkaji lebih lanjut, khususnya  tentang perkawinan dan permasalahannya.



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………….1
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………2
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………3
A. LATAR BELAKANG……………………………………...3
B. RUMUSAN MASALAH…………………………………...4
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………..5
A. PENGERTIAN PERKAWINAN…………………………...5
B. PRINSIP PERKAWINAN………………………………….7
C. HAKIKAT, ASAS, TUJUAN PERKAWINAN……………8
D. SUMBER HUKUM PERKAWINAN……………………...9
E. SYARAT PERKAWINAN MENURUT UU……………..14
F. PERWALIAN MENURUT UU…………………………..14
G. SAKSI DALAM PERKAWINAN MENURUT UU……...15
H. PERMASALAHAN DALAM PERKAWINAN………….16
BAB III PENUTUP……………………………………………………….18
A. KESIMPULAN………………………………………………18
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...19





BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria dengan wanita yang antara keduanya bukan muhrim.  Apabila di tinjau dari segi hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu  akad yang suci dan luhur antara pria dengan wanita, yang menjadi sebab  sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkan hubungan seksual dengan  tujuan mencapai keluarga sakinah, mawadah serta saling menyantuni antara  keduanya.
Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada  yang tidak sah. Hal ini dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan agama. Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan.  Akan tetapi pada kenyataan ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan hanya dengan Hukum Agamanya saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri, yaitu perkawinan yang tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.  Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah satu wujud aturan tata tertib pernikahan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, di samping aturan-aturan tata tertib pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama.
Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan bahwa setiap perkawinan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. Namun kenyataan memperlihatkan fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau pernikahan di bawah tangan yang terjadi di tengah masyarakat.
Rumusan Permasalahan
Atas dasar latar belakang diatas, maka saya mengambil rumusan permasalahan: “bagaimana seluk beluk tentang perkawinan dan permasalahannya?”. Dengan materi ini, saya akan membahasnya satu persatu.


BAB II
Pembahasan
Pengertian Perkawinan
Negara Republik Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja  mengandung unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri atau sering diartikan pula sebagai perkawinan. Mulanya kata “nikah” berasal dari bahasa Arab. Sedangkan di dalam Al-Quran menggunakan kata“zawwaja” dan kata “zauwj”, yang berarti pasangan. Hal ini dikarenakan pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan.
Para pakar hukum perkawinan Indonesia juga memberikan definisi tentang perkawinan antara lain menurut :
1. Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah Peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan
2. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci dan luas dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.
3. Menurut Subekti, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
4. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Secara umum AlQuran hanya menggunakan 2 kata ini, untuk menggambarkan terjadinya hubungan suami isteri secara sah. Kata-kata ini mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab kabul (serah terima). Ijab kabul pernikahan pada hakekatnya adalah ikrar dari calon isteri melalui walinya dan dari calon suami untuk hidup seia sekata, guna mewujudkan keluarga sakinah dengan melaksanakan segala tuntunan ajaran agama serta melaksanakan segala kewajiban sebagai seorang suami.

Prinsip Perkawinan
Pada prinsip perkawinan atau  nikah adalah suatu akad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolongmenolong antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila ditinjau dari segi hukum tampak jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sahnya status sebagai suami istri dan di halalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang dan kebajikan serta saling menyantuni antara keduanya. Perkawinan menurut Hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah dan ada yang tidak sah. Akad perkawinan dikatakan sah, apabila akad tersebut dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan Agama. Sebaliknya, akad perkawinan dikatakan tidak sah bila tidak dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan Agama. Sementara dalam pandangan ulama suatu perkawinan telah dianggap sah apabila telah terpenuhi baik dalam syarat maupun rukun perkawinan.

Hakikat, Asas, Tujuan Perkawinan
Menurut UU No.1/1974 hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Dari rumusan diatas jelaslah bahwa ikatan lahir dan batin harus ada dalam setiap perkawinan. Terjalinnya ikatan lahir dan batin merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.
Dengan demikian, bahwa hakikat perkawinan itu bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin. Hendaknya pasangan yang sudah resmi sebagai suami istri juga merasakan adanya ikatan batin, ini harus ada sebab tanpa itu perkawinan tak akan punya arti, bahkan akan menjadi rapuh.
Asas perkawinan adalah monogami, bahwa dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya dioperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai satu orang laki-laki sebagai suaminya. hal ini tercantum dalam Pasal 3 UU No.1/1974
Dengan adanya asas monogami serta tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka suatu tindakan yang akan mengakibatkan putusnya suatu perkawinan (dalam hal ini yang dimaksud adalah perceraian) harus benar-benar dipikirkan serta dipertimbangkan masak-masak. Sebab jika itu terjadi maka akan membawa akibat yang luas, tidak hanya menyagkut diri suami atau istri tetapi nasib anak-anak juga harus diperhatikan. dengan demikian diharapkan pula agar tidak begitu mudah melangsungkan perkawinan serta begitu mudah bercerai (kawin-cerai berulang-ulang).


Sumber hukum perkawinan
Undang-undang perkawinan dibentuk karena kebutuhan masyarakat yang sejak zaman kerajaan Islam (sebelum Indonesia dijajah Belanda) sejak zaman kerajaan Islam telah memiliki pengadilan agama dengan berbagai nama yaitu Pengadilan Penghulu, Mahkamah Syari’ah dan Pengadilan Surambi. Setelah merdeka, pemerintah Republik Indonesia telah membentuk sejumlah peraturan tentang Pengadilan Agama. Di antaranya adalah pembentukan Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan rujuk. Akan tetapi dari segi kebutuhan pengadilan yang memerlukan hukum formil dan hukum materiil, maka Undang-undang Nomor 22 tahun1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan rujuk, belum dapat dikatakan sebagai hukum formil maupun materiil karena Undangundang tersebut lebih menekankan akan pentingnya pencatatan perkawinan.
Untuk kepentingan pencatatan perkawinan, akan didenda sebesar lima puluh rupiah.  Usaha pembentukan Undang-undang perkawinan di Indonesia dimulai sejak tahun 1950. Pada waktu itu pemerintah membentuk panitia penyelidik peraturan hukum perkawinan, talak dan rujuk yang memiliki dua tugas yang pertama yaitu melakukan pembahasan mengenai berbagai peraturan perkawinan yang telah ada dan yang kedua menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) perkawinan yang sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman.
Setelah menempuh perjalanan panjang akhirnya Bangsa Indonesia mengesahkan Undang-undang Nasional yang berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, meskipun sebelumnya mengalami kritikan yang tajam baik dari pihak politisi maupun dari berbagai ormas Islam yang ada.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 adalah Undang-undang Perkawinan Nasional. Undang-Undang tersebut diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974 dan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober tahun 1975. Dengan demikian Undang-Undang perkawinan Nasional berlaku untuk semua Warga negara di seluruh wilayah Indonesia, Undang-Undang ini berusaha menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan Hukum Perkawinan yang berlaku untuk semua golongan dalam masyarakat dan sekaligus telah memberi landasan Hukum Perkawinan Nasional.
Dengan keluarnya Undang-Undang Perkawinan tersebut, maka ketentuan-ketentuan yang diatur  dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 Nomor 74) dan peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang yang baru itu dinyatakan tidak berlaku.
Sebenarnya bangsa Indonesia telah lama bercita-cita untuk mempunyai Undang-undang yang mengatur Perkawinan secara Nasional, yang berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia. Namun cita-cita tersebut baru dapat terwujud pada tahun 1974, tepatnya pada tanggal 2 Januari 1974. yaitu dengan di undangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Selanjutnya disingkat UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan bahwa:
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordanatie Perkawinan Indonesia Kristen (huwelijks Ordanantie Christen Indonesier, S 1933 No 74),Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken, S 1898 No. 158 ) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undangundang ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 66 di atas tidak mencabut seluruh ketentuan-ketentuan mengenai Hukum Perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesier, S. 1933 Np 74 ), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde huwelijken, S. 1898 Nomor 158), dan Peraturan-peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan, melainkan sejauh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Selanjutnya dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan, bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, sedangkan pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud, diundangkan pada tanggal 1 April 1975, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975  tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 (Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor  9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Dengan demikian Undangundang Nomor 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975.
Dari ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat diketahui, bahwa hal-hal mengenai :
1. Pencatatan Perkawinan ;
2. Tata cara Perkawinan ;
3. Akta perkawinan ;
4. Tata cara Perceraian ;
5. Pembatalan Perkawinan ;
6. Waktu tunggu ;
7. Beristri lebih dari seorang ;

Telah mendapat pengaturan, sehingga dapat diperlakukan secara efektif, sedangkan hal-hal mengenai :
1. Harta benda dalam perkawinan;
2. Hak kewajiban orang tua dan anak ;
3. Kedudukan anak ;
4. Perwalian ;

Belum mendapatkan pengaturan, sehingga belum dapat diperlukan secara efektif, maka dengan sendirinya masih diperlukan ketentuan ketentuan dan perundang-undangan yang lama Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di muka dapatlah disimpulkan, bahwa semua peraturan perkawinan yang ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mendaftarkan kepada golongan penduduk dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. selanjutnya perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang bersifat Nasional, di dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing  agama dan kepercayaan, masing-masing merupakan syarat mutlak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.

 Syarat perkawinan menurut UU No1/1974
•         Adanya persetujuan kedua calon mempelai.
•         Adanya ijin kedua orangtua atau wali bagi calon mempelai yang belum  berusia 21 tahun.
•         Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun.
•         Antar calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah atau keluarga yang tidak boleh kawin
•         Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain
•         Bagi suami isteri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya
•         Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda
Perwalian  Menurut UU No1/1974
•         Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua,  berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya (Pasal 50).
•         Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi.

Saksi dalam Perkawinan Menurut UU No1/1974
Pasal 26
•         Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
•         Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Permasalahan dalam perkawinan
Problema di seputar perkawinan atau kehidupan berkeluarga berada di sekitar: a. Kesulitan memilih jodoh/kesulitan mengambil keputusan siapa calon suami/isteri;
b. Ekonomi keluarga yang kurang tercukupi;
c. Perbedaan watak, temperamen dan perbedaan kepribadian yang terlalu tajam antara suami isteri;
d. Ketidak puasan dalam hubungan seksual;
e. Kejenuhan rutinitas;
f. Hubungan antar keluarga besar yang kurang baik;
g. Ada orang ketiga, atau yang sekarang popular dengan istilah WIL (wanita idaman lain) dan PIL (pria idaman lain) selingkuh;
h. Masalah Harta dan warisan;
i. Menurunnya perhatian dari kedua belah pihak suami isteri;
j. Dominasi dan interfensi orang tua/ mertua;
k. Kesalahpahaman antara kedua belah pihak;
l. Poligami;
m. Perceraian.
Cara Mengatasi Masalah Pernikahan Melalui Konseling Dari berbagai problem kerumah tangaan seperti tersebut diatas, maka konseling perkawinan menjadi relevan, yakni membantu agar client dapat menjalani kehidupan rumah tangga secara benar, bahagia dan mampu mengatasi problem-problem yang timbul dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena itu maka konseling perkawinan pada prinsipnya berisi dorongan untuk mengingat atau menghayati kembali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan hidup berumah tangga menurut ajaran Islam. Konseling diberikan agar suami/istri menyadari kembali posisi masing-masing dalam keluarga dan mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang terbaik bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya. Jika memperhatikan kasus perkasus maka konseling perkawinan diberikan dengan tujuan: a. Membantu pasangan perkawinan itu mecegah terjadinya/meletusnya problema yang mengganggu kehidupan perkawinan mereka. b. Pada pasangan yang sedang dilanda kemelut rumah tangga, konseling diberikan dengan maksud agar mereka bisa mengatasi sendiri problema yang sedang dihadapi. c. Pada pasangan yang berada dalam tahap rehabilitasi, konseling diberikan agar mereka dapat memelihara kondisi yang sudah baik menjadi lebih baik.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan hukum dalam hukum tertulis (hukum negara) maupun hukum tidak tertulis (hukum adat).
Dan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan sudah diatur dalam peraturan negara baik dalam bentuk tertulis, tidak tertulis, dalam hukum adat, keyakinan dan agama.
Permasalahan dalam suatu perkawinan merupakan suatu kewajaran selama masih dalam batas kontrol dan batas kewajaran.


DAFTAR PUSTAKA
https://blog.djarumbeasiswaplus.org/galangputra/2014/10/24/makalah-prinsip-uu-no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/
http://andinidr.blogspot.co.id/2013/04/makalah-perkawinan.html
http://berbagi-makalah.blogspot.co.id/2012/06/nikah-dan-permasalahannya.html
http://www.kompasiana.com/www.innerbuzz.com/perkawinan-dan-permasalahan-hukumnya-di-indonesia_552879806ea834e4518b45d4
http://sigitrudiatwoko.blogspot.co.id/2011/03/nikah-dan-permasalahannya.html#!/tcmbck
Thanks for reading Makalah Tentang Perkawinan dan Permasalahannya

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar